Blog Pacmann Exclusive Interview: Women in Data

Pacmann Exclusive Interview: Women in Data

April 12, 2022 8 min read

Perempuan dan STEM, women in data industry, kombinasi yang jarang ditemui terutama di Indonesia.

Perjalanan perempuan di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) dapat diibaratkan seperti pipa air penuh lubang yang membuat hasil akhir air yang didapatkan menjadi sedikit.

Salah satu penyebab mengapa perjalanan perempuan di bidang STEM bagaikan pipa air berlubang dan menyebabkan perempuan jadi under-represented adalah kurangnya role model perempuan.

Pada tahun 1995, Molly Weinburgh menemukan bahwa kurangnya role model ini membuat murid perempuan tidak dapat membayangkan diri mereka untuk berkarir di bidang STEM.

Artikel ini secara khusus menceritakan bagaimana perjalanan Zahra Amalia Syarifah (Qualitative Researcher di TNP2K) dan Nurvirta Monarizqa (Data Scientist di Microsoft) yang berkarir di bidang data.

Zahra Amalia Syarifah

s shot of Zahra Amalia as a woman in data industry

Tokoh petama women in data ini berkarir sebagai Qualitative Researcher di Unit Riset Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sembari melanjutkan studi S3 di bidang sosiologi di University of California San Diego, Zahra tidak membatasi dirinya terhadap penelitian kualitatif saja.

Sebagai seorang Qualitative Researcher, Zahra bertugas untuk mencari topik untuk menjawab sebuah pertanyaan.

Bergelut dengan topik politik

Topik yang biasa Zahra kerjakan adalah isu politik.

Bagi Zahra, politik tidak hanya sebatas partai dan politikus, melainkan tentang power atau kuasa.

“Politik jauh lebih kompleks dari yang ada di permukaan, seperti misalnya bagaimana orang atau kelompok bisa mencapai tujuan mereka, bagaimana mereka bekerja sama atau berkonflik dalam mencapai tujuan mereka, dan isu ketidakadilan karena ketimpangan kuasa”, tutur Zahra.

Setelah menemukan topik yang akan ditelitinya, Zahra akan bekerja dengan berbagai data teks, melakukan literature review, menulis paper, laporan, dan menggunakan metodologi yang lebih luas seperti wawancara in-depth dalam proyek risetnya.

Kuantitatif dan kualitatif jadi satu

Dalam mengolah data teks, Zahra juga menggunakan metode kuantitatif untuk mendukung risetnya.

Zahra pertama kali berkenalan dengan metode kuantitatif saat menjalankan studinya.

Ia ‘terpaksa’ mempelajari metode kuantitatif untuk menyelesaikan tesis.

Ketika itu, Zahra harus menganalisis berita dalam rentang waktu 10 tahun dan tidak mungkin untuk membacanya satu per satu.

Dari sini, Zahra mulai belajar statistika dan belajar menganalisa data teks menggunakan R dan Python.

Memiliki latar belakang kualitatif, Zahra tidak secara langsung dapat memahami metode kuantitatif.

“Kodenya ga bekerja dan ga ada yang bisa ditanyain. But stackoverflow is a gift from heaven haha”, cerita Zahra ketika ditanya mengenai kesulitan menggunakan tools kuantitatif.

Bagi Zahra, kunci untuk bisa mengenal metode ini adalah perseverance atau ketekunan.

“It’s not an easy road to take kalau seseorang backgroundnya kualitatif. It’s even ‘bloody’ at times, but it’s going to be rewarding and you’ve got to keep pushing. You just have to keep your eyes on the prize. Kita harus punya tujuan jelas: kenapa belajar metode kuantitatif? How will it help us?”

Paduan antara seni dan analisis

Walaupun sudah menyentuh metode kuantitatif, Zahra tetap menggunakan metode kualitatif dalam risetnya.

Menurutnya, menyeimbangkan keduanya adalah sebuah seni karena keduanya dapat menyempurnakan satu sama lain.

Menguasai kedua metode ini juga membukakan jalan bagi Zahra untuk bertukar ide dengan researcher lain.

Contohnya, Zahra jadi bisa bekerja dengan orang-orang berlatar belakang ekonomi di TNP2K.

“Kadang ekonom dan sosiolog melihat isu yang sama, tapi dari sisi yang berbeda. Kalau keduanya melihat satu hal secara terpisah, sulit buat melihat isu tersebut secara utuh.”

Tips untuk perempuan yang berkarir di industri data

Pada wawancara ini, Zahra juga memberikan tips kepada para perempuan yang ingin menjadi researcher ataupun berkarir di bidang data di Indonesia.

Menurutnya, demand akan pekerjaan ini terbuka selama kalian juga memberikan apa yang dibutuhkan.

Saran Zahra, carilah bidang yang ingin dispesialisasikan, contohnya Zahra fokus di riset sosial dan kebijakan publik.

“Again, find your niche and occupy it. Find THE reason for you to stay motivated and specialise in something to focus in and master. Buat diri kamu jadi top of mind orang-orang ketika mereka memikirkan suatu isu/topik/field”, ungkap Zahra.

Nurvirta Monarizqa

Nurvirta Monarizqa Data Scientist at Microsoft

Dilahirkan dari keluarga seni, perempuan yang akrab disapa ‘Mona’ ini tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang data scientist.

Namun, namanya telah jadi salah satu top of mind women in data terutama di Indonesia.

Dari kesenian ke data

Sejak kecil, ia dikenalkan dengan bidang-bidang seni, sampai akhirnya, ketika memasuki jenjang SMP–SMA, Mona mulai mengikuti olimpiade matematika dan memilih untuk melanjutkan kuliah di Teknologi Informasi UGM.

Ketika memasuki bangku kuliah, Mona mulai tertarik dengan data.

Ketertarikannya dituangkan dalam riset kecil untuk mengetahui proporsi mahasiswa baru di UGM berdasarkan cara masuknya (penelusuran bibit, ujian masuk, atau SNMPTN) menggunakan data seluruh mahasiswa baru saat itu.

Dari sini, Mona merasa dunia data menyenangkan, dan Mona pun memutuskan untuk berkarir di bidang ini, terutama setelah menganalisis sentimen pemilu Jokowi vs Prabowo sebagai topik skripsinya.

Ilmu yang didapatkan selama berkuliah di Teknologi Informasi UGM menjadi bekal pemrograman Mona, namun agar dapat menyelami dunia data lebih dalam, Mona mulai belajar melalui course-course online.

Studi lanjutan di Urban Informatics NYU

Merasa tidak cukup hingga di situ saja, Mona kemudian melanjutkan studinya di Urban Informatics NYU dan akhirnya berkarir full-time sebagai data scientist.

Menurut Mona, ketika ingin menjadi seorang data scientist, kenali dulu apa yang dibutuhkan untuk menjadi data scientist secara teknis, seperti statistik, machine learning, dan pemrograman.

“Setelah itu, kenali apa yang kira-kira belum dimiliki sama sekali. Bila belum bisa pemrograman namun mengetahui statistik, maka kuatkan pemrogramannya. Kemudian, buatlah proyek kecil-kecilan tentang data. Dari situ kita jadi tahu apa yang belum kita kuasai, dan ulang lagi proses ‘belajar-bikin proyek-belajar’ hingga lancar”, jelas Mona.

Soft skill wajib seorang data scientist

Tidak hanya technical skills saja, seorang data scientist juga perlu untuk menguasai soft skill.

Menurut Mona, komunikasi sangat penting dalam industri ini sebab biasanya, data scientist tidak bekerja sendiri.

Data scientist perlu meyakinkan berbagai pihak, sehingga kemampuan untuk mengkomunikasikan hasil dan proses sangatlah penting.

“Komunikasi ini tidak harus verbal ya. Saya contohnya bukan yang jago pidato. Komunikasi bisa berbentuk tulisan juga, jadi asah skill tersebut dengan membuat portofolio yang bercerita, ada latar belakangnya, ada kenapa-nya, ada penjelasan metode, kemudian hasilnya seperti apa”, tutur Mona.

Menurut Mona, kunci utamanya adalah terus mau belajar dan memiliki curiosity.

“Pokoknya jangan pernah merasa kita yang paling bener, second guess, ask around, karena seperti halnya model, semakin banyak input, semakin baik”.

Mona juga menyarankan untuk mencari tempat yang banyak ilmu, seperti berlangganan jurnal bila mampu, langganan feed Machine Learning di Twitter, StackOverflow, StatQuest di Youtube, dan berbagai sumber lainnya.

Tantangan sebagai data scientist

Tentunya, dalam perjalanannya sebagai seorang data scientist, Mona tidak terlepas dari struggle, baik yang berkaitan dengan data maupun yang tidak.

“Misal kalau sedang membersihkan data dan datanya berantakan sekali, ingin menyerah saja rasanya. Atau deploy model tapi ternyata banyak false positives, rasanya kecewa sama diri sendiri. Atau yang tidak terlalu relate ke data, misal ketika mengetahui teman kerja pria yang tanggung jawabnya sama tapi ternyata dapat gaji 30% lebih banyak, rasanya sakit hati hehe.”

Walaupun begitu, Mona tidak menyerah. Ketika sedang ada di masa sulit, ia akan mengingat kembali mengapa ia mulai pertama kali.

Pesan kepada para Women in Data

Terakhir, Mona juga memberikan pesan kepada teman-teman perempuan yang ingin berkecimpung di dunia data.

Mona optimis bahwa ke depannya, perempuan memiliki peluang untuk unggul di bidang ini.

Bila menilik sejarah, perempuan terlebih dahulu yang mengenal coding.

Ia bercerita bahwa pada jaman dahulu, laki-laki bekerja dengan hardware sedangkan perempuan dengan software, hitung-hitungan, dan data.

Namun, ketika tahun 70-an dan personal computer (PC) booming, laki-laki yang saat itu masih menjadi anak yang lebih disayang lebih sering mendapatkan kado PC sehingga akhirnya mulai belajar coding terlebih dahulu di rumah.

Maka dari itu, Mona berpesan agar jangan pernah merasa kalah atau inferior dari laki-laki, atau siapa pun itu.

Meskipun tantangan perempuan mungkin berbeda, seperti tidak banyak yang dibesarkan dengan komputer sehingga memiliki start yang jauh dari laki-laki.

“Nggak apa-apa, cari komunitas yang kondusif. Curhatin ke dosen/pembimbing/teman yang tidak hostile. Aku yakin perjuangannya tidak gampang. Tapi karena aku punya privilege bisa bersaing hingga sejauh ini, aku selalu siap sedia mendengar curhatan jika dibutuhkan. Feel free to send me a DM”, tutup Mona.

Begitulah cerita mengenai perjalanan, struggle, dan pesan yang disampaikan oleh Zahra dan Mona.

Walaupun tidak memiliki latar belakang STEM, Zahra dan Mona dapat belajar dan tidak menjadikan tantangan yang dihadapinya sebagai alasan untuk mundur.

Selamat Hari Kartini bagi seluruh perempuan hebat Indonesia.

Semoga cerita Mona dan Zahra dapat menginspirasi dan menjadi motivasi teman-teman perempuan di Indonesia untuk belajar dan berkarir di bidang STEM, terutama industri data ke depannya.

Further reading:

Women and science careers: leaky pipeline or gender filter?