Brand identity menjadi salah satu faktor penting yang membedakan suatu perusahaan dengan kompetitornya.
Pada dasarnya, brand identity tidak hanya sebatas pada seperangkat elemen yang terlihat secara visual seperti logo, desain, dan warna.
Lebih dari itu, brand identity juga mencakup elemen lainnya seperti jargon, taglines, dan tipografi.
Secara kolektif, brand identity adalah semua elemen yang membantu brand lebih menonjol di antara para kompetitornya.
Setelah mengalami interaksi dengan brand identity, konsumen akan merasakan persepsi tertentu atas suatu brand.
Keberhasilan brand identity dapat membentuk sebuah brand image positif sesuai dengan yang perusahaan harapkan.
Dengan demikian, brand image dapat kita pahami sebagai hasil akhir dari upaya kolektif perusahaan menciptakan brand identity.
Lantas, kapan sebaiknya perusahaan melakukan rebranding?
Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan saat perusahaan berencana melakukan rebranding?
Mari kita bahas pertanyaan-pertanyaan itu.
Contoh Kasus Rebranding Perusahaan Dunia
Terkadang, sebuah bisnis menghadapi begitu banyak tantangan, sehingga upaya membangun brand yang ala kadarnya tidak akan cukup untuk menciptakan hasil yang diharapkan.
Dalam kasus ini, sebuah bisnis mungkin perlu menjalani rebranding secara menyeluruh.
Untuk menyajikan gambaran lebih jelas tentang perusahaan yang berhasil melakukan rebranding, simak dua kasus rebranding dari dua raksasa teknologi Apple dan Google – Alphabet berikut ini.
Kasus Rebranding Apple
Apa yang kebanyakan orang pikirkan ketika mendengar nama brand Apple?
Sebagian besar orang akan menjawab bahwa perusahaan berlogo buah apel kroak itu sangat sering diasosiasikan dengan desain, kreativitas, dan inovasi.
Di industri pun desain-desain produk Apple nyatanya sering menjadi “inspirasi” dan “rujukan” para kompetitornya.
Dari paparan singkat ini, dapat kita ketahui bahwa Apple berhasil menciptakan brand image yang kuat.
Namun, tahukah kamu, perusahaan sekelas Apple bisa sampai sejauh ini antara lain karena melakukan rebranding.
Ya, mengutip CNBC, perusahaan yang berdiri pada 1 April 1976 itu sempat berada di ambang kebangkrutan pada tahun 1997.
Kala itu, penjualan mereka buruk, minat konsumen rendah, dan pesaing di pasar kuat.
Uniknya, penyelamat Apple kala itu adalah kompetitornya sendiri: Microsoft.
Pada 6 Agustus 1997, Microsoft menggelontorkan dana senilai USD 150 juta kepada Apple.
Sebagai gantinya, antara lain Internet Explorer disetel menjadi default browser di perangkat Mac.
Selain itu, Apple setuju membatalkan gugatan yang menuduh Microsoft meniru sistem operasinya sebagai bagian dari kesepakatan mereka.
Majalah TIME pun mengabadikan fenomena rivalitas unik ini ke dalam sebuah sampul khusus.
Sampul itu menampilkan potret Steve Jobs sedang menelepon Bill Gates dan kutipan,
“Bill, thank you. The world’s a better place”.
Lantas, apa yang Apple lakukan dengan investasi tersebut? Sebagai nakhoda perusahaan, Steve merombak brand identity perusahaan, yakni logo ikonik Apple.
Selama periode 1977 hingga 1984, logo Apple mengadopsi warna pelangi.
Pada 1998, warna hitam solid menggantikan warna pelangi di logo Apple.
Kemudian di sisi struktur perusahaan, Steve Jobs mempromosikan Jonathan Ive sebagai Senior Vice President of Industrial Design pada tahun 1997.
Sejak saat itu, sosok dengan sapaan akrab Jony Ive itu mengepalai tim desain industri dan bertanggung jawab atas sebagian besar produk perangkat keras penting di Apple hingga akhir masa kariernya di perusahaan tersebut.
Tugas pertama Jony Ive dalam kapasitas barunya adalah merancang desain iMac, yang kemudian diperkenalkan ke pasar pada tahun 1998–setahun setelah rebranding perusahaan dan promosi jabatannya.
iMac diterima dengan baik di pasar dan berhasil membantu mendongkrak angka penjualan.
Apple pun dilaporkan meraup profit pada Q4 1998 dengan penjualan iMac yang mencapai 800.000 unit.
Pangsa Apple di pasar PC global saat itu telah meningkat menjadi 5 persen dari 3 persen secara YoY.
Atas pencapaian positif ini, konsep desain iMac selanjutnya telah membantu membuka jalan bagi banyak desain lain produk Apple lainnya seperti iPod, iPhone, dan iPad.
Kasus Rebranding Google – Alphabet
Pada 2015, Google melakukan rebranding entitas korporasinya dan mengusung nama Alphabet.
Sepanjang perjalanan perusahaan, persepsi mesin pencari melekat sangat erat pada nama Google di benak para pengguna internet.
Dalam kasus ini, upaya Google dapat kita nilai sebagai langkah strategis untuk mengikis persepsi tersebut.
Pada saat bersamaan, pemakaian nama Alphabet sebagai entitas perusahaan induk sejalan dengan cakupan lini produk dan jasa yang semakin beragam di berbagai bidang–tak terbatas pada mesin pencari dan layanan berbasis internet saja.
Sebut saja mobil otonom (autonomous car) Waymo, ekosistem streaming permainan Stadia, riset kecerdasan buatan DeepMind, dan lainnya.
Dengan demikian, rebranding Google menjadi Alphabet tidak hanya bersifat masuk akal, tetapi juga lebih inklusif untuk semua lini produk dan layanan di bawah naungannya.
Di sisi lain, nama Google bisa menjadi lebih eksklusif untuk disematkan pada produk dan layanan berbasis internet saja, semisal Google Drive, Google Play, Google Chrome, Google Meet, Google Maps, dan lainnya.
Pada permulaan September 2015, Google mengalami perubahan logo; perubahan itu mencakup tipografi sans-serif buatan Google sendiri, yakni Product Sans, serta perubahan hex color.
Kemudian pada tahun 2020, Google juga melakukan perubahan logo di semua lini produk Google Workspace.
Sejak saat itu hingga sekarang, lini produk Google Workspace memiliki ikonografi dan warna yang mengacu pada logo Google.
Faktor Pendukung Keberhasilan Rebranding
Sementara itu, Davis dan Duvall (2019) dalam sebuah study case mengenai rebranding perusahaan penyedia layanan kesehatan, menyoroti beberapa pelajaran penting.
Baik Davis maupun Duvall sama-sama pernah menempuh studi di Kellogg School of Management, Northwestern University–salah satu sumber rujukan bagi Pacmann dalam menyusun kurikulum di Sekolah Bisnis Pacmann.
Dukungan C-Level dan BOD
Dukungan dari orang-orang di jajaran C-Level dan Board of Directors (BOD), menurut Davis dan Duvall, berperan vital dalam proses rebranding.
Peran mereka antara lain berkaitan dengan penyelarasan ulang visi perusahaan.
Perlu ditekankan bahwa menyelaraskan visi perusahaan dapat termasuk ke dalam poin-poin penting untuk rebranding karena visi yang ada boleh jadi tidak lagi relevan dengan kondisi teraktual dan perlu disesuaikan.
Sejatinya, brand pun tidak sebatas nama.
Bahkan, brand claim yang dipahami sebagai sebuah janji sudah sepatutnya merefleksikan visi perusahaan.
Maka dari itu, penyelarasan yang melibatkan di C-Level dan BOD adalah sebuah keharusan.
Segmentasi pelanggan
Berikutnya, perusahaan perlu melakukan segmentasi pelanggan, yakni sebuah proses di mana pelanggan terbagi ke dalam beberapa jenis berdasarkan sejumlah karakteristik.
Misalnya, karakteristik demografi yang mencakup umur, gender, penghasilan, dll., serta karakteristik lainnya yang relevan dengan proses segmentasi pelanggan.
Melalui analisis segmentasi pelanggan, perusahaan akan dapat menemukan gambaran tentang jenis pelanggan seperti apa yang menjadi prioritas dan menilai, apakah produk dan layanan mereka selaras dengan kebutuhan mereka.
Berbasis Data
Pengambilan keputusan sudah semestinya berdasarkan analisis data penunjang.
Jangan sampai, keputusan melakukan rebranding bersifat coba-coba atau bahkan berdasarkan firasat semata.
Selain membantu mengambil keputusan dan strategi bisnis dengan lebih baik, hasil analisis data dapat membantu memahami perilaku pelanggan, mengukur performa bisnis, serta membangun hipotesis jangka panjang secara lebih reliabel.
Bicara soal data sebagai basis pengambilan keputusan, kurikulum Sekolah Bisnis Pacmann juga menawarkan topik serupa, yakni business analytics.
Kesimpulan
Pembahasan tentang Apple dan Google – Alphabet mengantarkan kita pada beberapa kesimpulan tentang kapan perusahaan sebaiknya melakukan rebranding.
Berkaca pada kasus Apple, rebranding dapat menjadi penanda keluar dari kondisi krisis yang melanda perusahaan.
Rebranding Apple tidak sebatas berganti logo saja, tetapi juga penerapan langkah strategis lain yang dapat meningkatkan nilai tambah produk atau jasa.
Kasus Google – Alphabet mengajarkan kita tentang upaya inklusivitas suatu brand yang dapat memayungi banyak lini produk atau jasa.
Pada saat bersamaan, rebranding Google – Alphabet berupaya memisahkan lini produk atau jasa mereka di bidang-bidang yang kontras atau tidak saling berhubungan dan berkaitan dengan manajemen dari sisi brand image.
Branding adalah satu komponen kecil saja dari suatu entitas bisnis.
Tentu, masih ada banyak komponen lainnya yang perlu mendapat perhatian pebisnis.
Bagi kamu yang berambisi untuk terjun ke dunia bisnis dan memiliki skill set lengkap, Sekolah Bisnis Pacmann dapat kamu pertimbangkan karena kurikulum program ini mengajarkan kamu skill set tersebut.
Sumber:
Davis, S. and Duvall, D. in Tybout, A. and Calkins, T. 2019. Kellogg on Branding in a Hyper-Connected World. Hoboken, New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Clifford, C. (2017). When Microsoft saved Apple: Steve Jobs and Bill Gates show eliminating competition isn’t the only way to win. CNBC.
Swartz, J. (1999). Apple Profit Up–iMac Sales Cited. SF Gate.
Artikel Popular
Big Data dan Data Mining: Perbedaan dan Hubungannya
June 5, 2023
Mengenal Lebih Jauh tentang Neural Network
June 2, 2023
10 Rekomendasi Blog Data Science Terbaik untuk Diikuti
June 1, 2023
Rekomendasi Course Data Engineering Bersertifikat
May 31, 2023
Bagaimana Machine Learning (ML) Dapat Bantu Mencegah Serangan Phishing
May 30, 2023